Penampilannya sederhana. Tapi ia punya niat yang mulia. Bahkan ia terkesan luar biasa ketika mampu mendirikan sekolah dari hasil mengolah sampah. Uniknya lagi, ia tidak memungut biaya. Murid-murid cukup dengan membawa sampah ke sekolah. Apa motivasinya sehingga ia memilih peduli sampah yang identik dengan kotor, sumber penyakit dan menjijikkan itu?
Melihat kondisi Kota yang semakin banyak sampah telah mengetuk hati Tampi. Keprihatinannya semakin menjadi ketika ia membayangkan pertumbuhan urbanisasi yang selalu bertambah setiap tahun. Berangkat dari keprihatinan inilah bapak tiga anak ini peduli dengan lingkungan, terutama masalah sampah.
Demi menjalani niat hati, pria asal Lamongan ini pun tak kenal gengsi. Ia rela memunguti sampah-sampah kecil yang kemudian dikumpulkan di pekarangan rumahnya. Meski ia tahu, upayanya ini tidak mungkin bisa menuntaskan masalah (sampah) itu, tapi ia tetap saja melakukannya tanpa henti.
“Jujur saya sangat prihatin sekali dengan banyaknya sampah. Belum lagi kalau kita lihat saudara-saudara kita yang mencari sesuap nasi dari sampah di Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) yang semakin menggunung. Apa yang saya lakukan hanyalah langkah kecil sebagai bentuk kepedulian saya terhadap lingkungan dan nasib anak cucu di masa depan,” ungkap pria yang biasa dipanggil Mbah Tampi.
Meski tak muda lagi, pria kelahiran 17 Juni 1941 ini seperti dikatakan oleh orang-orang terdekatnya sebagai orang yang tak kenal lelah. Sejak pensiun dari TNI AL dan menetap di pinggiran Surabaya, Tampi masih aktif sebagai Kasatgas Linmas/Hansip di Kelurahan Asem Rowo, dan sering kali mengikuti pembinaan di pemerintah kota. Tak heran jika nama Tampi sangat populer di kelurahan, kecamatan maupun di kalangan pemkot. Bahkan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini juga sangat akrab dengannya.
“Saya akrab dengan Dik Risma sebelum jadi walikota. Saya juga sudah menyampaikan persoalan sampah ini padanya. Semoga ada tindak lanjut yang positif dari pemerintah,” harap suami Malikah. Ia memang sangat antusias untuk mengatasi sampah. Karena terlanjur pedulinya terhadap sampah, setiap ada pertemuan, baik di kelurahan maupun di kecamatan, Tampi selalu pulang paling akhir. Seusai acara, sampah bekas nasi kotak dan sampah lain ia punguti. “Sayang kalau dibuang, masih bisa dimanfaatkan atau diolah lagi,” katanya sembari tertawa.
Jika sampah yang ada di halaman rumahnya sudah menumpuk, sampah itu kemudian dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya. Sampah yang sering diolah adalah sampah kering. Jika sudah banyak, barulah ia jual ke pengepul. Berkat ketekunannya, dari olah sampah itu kakek empat cucu ini bisa membangun sebuah Taman Kanak-kanak (TK) di sebelah rumahnya. TK yang diberi nama Among Putra ini berdiri sejak 1990.
“Saya pensiun 1988 dan langsung fokus pada lingkungan. Di kampung ini tidak ada yang sekolah, maka saya dan istri sepakat untuk mendirikan TK. Saya juga menggalakkan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) kepada ibu-ibu,” ujarnya. Sejak adanya TK, anak-anak di kampung ini seperti mempunyai tempat bermain.
Melihat kondisi Kota Surabaya yang semakin banyak sampah telah mengetuk hati Tampi. Keprihatinannya semakin menjadi ketika ia membayangkan pertumbuhan urbanisasi yang selalu bertambah setiap tahun. Berangkat dari keprihatinan inilah bapak tiga anak ini peduli dengan lingkungan, terutama masalah sampah.
Tapi para orang tua tidak serta merta menyambut baik. Mereka kuatir tidak bisa membayar biaya sekolah. Gagasan untuk menggratiskan pun sempat muncul di benak Tampi. Tapi kemudian ia menemukan ide yang lebih solutif.
“Bagi mereka yang tidak mampu, saya tetap mengimbau untuk membayar SPP. Tidak dengan uang tapi sampah. Selain agar mereka bisa tetap semangat belajar, saya ingin mereka terbiasa untuk berusaha. Anak–anak itu saya suruh membawa sampah dari lingkungan sekitar rumahnya seminggu sekali. Porsinya tidak saya batasi. Yang penting mereka membawa sampah. Ini akan membiasakan mereka peduli lingkungan,” tukasnya dengan nada serius.
Sampah yang terkumpul dari anak-anak itu diolah kemudian dijual. Meski besarnya tidak seberapa, tapi hasilnya bisa untuk operasional sekolah. Saat ini kepala TK dijabat sang istri dan dibantu tiga guru. “Alhamdulillah, sekarang ada 41 murid TK dan 7 PAUD. Jika saya ada rezeki lebih, kadang saya ajak ke tempat-tempat yang bisa memberikan mereka wawasan tambahan. Seperti kunjungan ke Balai Pertanian. Supaya mereka paham dunia dan lebih dekat dengan alam,” pungkasnya.
0 comments:
Posting Komentar