Arwah : ilustrasi
Memasuki Desa Rejo serentak kami semua terdiam. Suasana saat itu langsung berubah sunyi senyap, seakan-akan kampung itu tak berpenghuni. Mobil yang kami tumpangi berlima pun berjalan pelan seolah enggan memasuki desa yang berada di pesisir pantai selatan itu.
“Nah, ini dia kampungnya. Asyik juga. Wah aku berharap di sini punya pengalaman menarik yang seumur hidupku baru kali ini mengalami. Ketemu kembang desa kek, atau…,” belum selesai Heru merampungkan kalimat tersebut tiba-tiba kami serentak terkesima melihat ada seorang nenek-nenek berdiri di pinggir jalan. Tampak tangannya membawa lampu senthir, padahal hari masih siang.
“Sebaiknya kita berhati-hati jangan gegabah, kalau ngomong diatur soalnya kita tidak tahu adat di sini, lagi pula kita tidak tahu apakah mang Samin masih ingat aku, ” ujar Didik Arif. Kami yang berlima yakni Didik, Heru, Rio, Santo dan aku Dion, memang berniat mengisi liburan di desa mang Samin, mantan tukang kebun keluarga Didik. Desa Rejo terletak di tepi pantai selatan, merupakan desa yang masih alami dan belum terkontaminasi budaya asing.
Kami memutuskan untuk berlibur di sini karena cerita Didik yang menurut mang Samin, dia tinggal di desa yang alami, dan yang membuat kami tertarik untuk mengunjunginya adalah cerita tentang sebuah tebing yang indah dan siap untuk didaki. Dasar Heru, dia yang paling getol mengajak kami ke sana karena kami memang punya hoby panjat tebing.
Akhirnya sampai juga di rumah sederhana yang asri. Dari dalam tampak tergopoh-gopoh lelaki paruh baya menyambut kami.
“Mas Didik, akhirnya datang juga mari, mari, silahkan,” sambut mang Samin sambil mengajak kami untuk langsung masuk ke rumahnya. “Enak juga yah suasana desa waktu sore, wah aku jadi langsung pengin jalan-jalan nih,” ajak Heru. Namun dengan gugup mang Samin segera mengajak masuk rumah dahulu dengan setengah memaksa, bahkan istrinya yang muncul kemudian malah langsung menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
Seusai mandi, dan istirahat sebentar langsung kami disuguhi makan malam. “Mang, ini kan masih sore, baru jam 6 kok sudah makan, nanti saja lah, aku pengin jalan-jalan,” ajak Heru tak sabaran. Tapi dengan sigap mang Samin segera melarang dan menyuruh makan dulu. “Oke deh, aku sudah lapar juga kok, eh mang tadi didepan desa aku melihat seorang nenek duduk di pinggir jalan tapi kok siang-siang menyalakan sentir yah, siapa dia mang,” ujar Didik.
“Makan dulu saja, nanti sehabis makan mamang akan ceritakan tentang desa ini dan aturan-aturannya,” ujar mang Samin. Dengan penuh penasaran akhirnya kami menikmati makan malam denga tergesa-gesa. Seusai makan sambil nyeruput wedang jahe suguhan kami duduk di ruang tengah untuk mendengarkan penjelasan mang Samin. “Mas, sebenarnya kedatangan mas-mas disini agak kurang tepat, mungkin kalau kalian memperhatikan sejak memasuki desa ini akan terasa aneh kan, ini karena beberapa hari ini arwah Saras muncul lagi,”. “Saras, siapa Saras mang,” tanyaku penasaran.
“Maaf mas, membicarakan asal usul Saras adalah tabu di desa ini, yang penting kita tidak boleh mengganggunya dan cara yang dilakukan oleh warga desa adalah dengan tidak keluar rumah selepas magrib dan tidak boleh berkata-kata kotor, tapi ini cuma terjadi selama sepasar (5 hari) saja setelah itu seperti biasa,” ujar mang Samin serius. Akhirnya, kami cuma melewatkan malam pertama dengan saling diam, walaupun ada guyonan malah terkesan hambar.
Esok paginya kita sudah siap pergi menuju tebing seperti yang dimaksud oleh mang samin, dengan diantar oleh mang samin akhirnya kami sampai ditempat tujuan. Sengaja mang samin hari itu libur ke ladang hanya untuk menunggui kami, sepertinya takut kalau-kalau kami terkena sesuatu. Dengan bentuk tebing yang masih asli, berjarak sekitar 100 meter dari garis pantai, pemandangannya begitu menakjubkan memandang hamparan pantai selatan dari atas tebing, karena dari dasar tebing kita tidak bisa melihat laut. Memang bentuk tebing sangat memudahkan pemanjat untuk mendakinya selain banyak tumpuan juga banyak cekungan untuk pegangan.
Heru sebagai leader (orang pertama, red) yang sampai atas sambil menunggu yang lainnya. Heru melihat-lihat sekeliling tempatnya berdiri, tak jauh dari tempatnya berdiri dilihatnya seorang gadis berdiri menghadap pantai duduk di atas batu. Bajunya khas orang desa dan didekatnya terdapat tenggok yang berisi singkong. ‘’Ah pasti dia gadis desa sini, tapi kok bisa sampai atas ya, lewat mana ?” pikir Heru. Kemudian dia menghampiri gadis itu dan menyapanya. “Pagi mbak, sendirian yah habis dari kebon ?,” sapa Heru sok ramah. “Iya,” jawabnya singkat. “Saya Heru dari Solo, mbak namanya siapa ?,” seloroh Heru lagi, muncul sikap playboynya. “Wati,” ucap gadis itu lirih sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Wah kesempatan nih, waduh tangannya halus banget tapi kok dingin, ya,’’ pikir Heru. “Kok bisa naik ke atas, lewat mana ?,”. Pertanyaan Heru itu cuma dijawab dengan arah telunjuk Wati yang menuju jalan kecil terjal dipinggir bukit. Tiba-tiba. “Her, ngapain kamu, eh malah cengar-cengir kok aku tidak bantu naik,” teriak Rio yang kedatangannya disusul oleh Dion.
“Hoi sini dong aku dapet kenalan cewek cantik nih, sini,” teriak Heru. Tapi, “Lho mana Wati, kok hilang, wah pasti gara-gara kalian Wati pergi,” ujar Heru sambil memandang jalan terjal yang mungkin dilalui Wati. Selepas siang kami pulang ke rumah mang Samin lagi dan cerita Heru ketemu dengan Wati agaknya tidak terdengar lagi dari mulut Heru. Hingga malam tiba, mendadak tubuh Heru menggigil kedinginan tapi tubuhnya panas.
“Her kenapa kamu wah, susah kalau bawa anak mami, pasti dia kangen ibunya,” kelakar Santo. Tapi mang samin menanggapinya lain. “Apa yang terjadi dengan kalian diatas tadi ?,” tanya mang Samin. “Tidak ada apa-apa kok, entah kalau Heru,” ujar Santo. “Eh, ya, tadi Heru bilang ketemu dengan gadis bernama siapa Rio?,”. “O,Wati” sahut Rio. Tiba-tiba wajah mang Samin dan istrinya berubah, seperti ketakutan. “Mas kalian tunggu sebentar di sini yah, tapi aku minta ditemani salah satu dari kalian untuk keluar sebentar,” ujar mang Samin tambah membuat kami heran.
“Sudah nanti saya ceritakan,” akhirnya Didik yang pergi menemani mang Samin dan sebentar kemudian mereka datang bersama dengan mbok Nah, dikenal sebagai tabib di desa tersebut. Setelah diberi japa mantra akhirnya tubuh Heru jadi tenang dan hilang sesak panasnya. “Tolong setelah siuman minumkan ramuan ini, sudah saya mau langsung pulang tidak usah diantar,” ujar mbok Nah.
Heru masih belum sadar, sepertinya tidur. Akhirnya mang Samin bercerita, kalau gadis yang dtemui Heru bernama Wati tersebut tak lain adalah Saras, alias Saraswati. Dan, hingga Heru kejang seperti itu pasti karena Heru telah menyentuh tubuh Saraswati. “Jangankan bersalaman, menyentuh saja sudah terkena sawab-nya, tapi untung belum parah jadi masih bisa tertolong, dan nenek yang kalian temui di depan desa itu adalah ibu Saraswati. Dia masih hidup tapi kurang waras, dia selalu menyalakan lampu kerena ingin mencari anaknya siang maupun malam,” terang mang Samin.
“Tapi Saras tidak kejam, hanya sebatas menggoda saja,” imbuhnya. “Kalau boleh tahu siapa Sarawati pak, kenapa bisa jadi begitu,” tanya Dion. Mang Samin takut menceritakan kisah Saraswati pada malam hari, setelah esok pagi baru dia cerita tentang Saraswati. Tuturnya, dia seorang anak yang lahir dari hubungan wanita desa setempat dengan seorang pria pendatang.
Namun setelah Saraswati tumbuh menjadi seorang gadis dewasa sang ayah yang bejat malah memperkosanya dan akhirnya Saraswati bunuh diri nyemplung laut. Ayahnya sendiri tewas dihakimi massa. Kisah tersebut sudah terjadi sejak 10 tahun yang lalu, tapi sang ibu Saraswati sampai sekarang masih belum ketemu mencari anaknya.
0 comments:
Posting Komentar